Putusan Pengadilan Pajak atas sengketa PT ASD menjadi studi krusial mengenai sengketa prosedural FORM-C2. Majelis Hakim menolak gugatan PT ASD atas surat pengembalian permohonan pembatalan SKP yang diterbitkan Direktur Jenderal Pajak (DJP). Putusan ini menegaskan fatalitas pelanggaran syarat formal—khususnya prinsip "no double dipping" dan syarat kompetensi kuasa hukum —sekalipun Wajib Pajak memiliki dalil kuat terkait legalitas SKPKB yang disengketakan.
Inti konflik bermula ketika PT ASD mengajukan gugatan terhadap Surat DJP Nomor S-1080/WPJ.01/2024. Surat tersebut bukanlah keputusan penolakan substansi, melainkan surat administratif yang mengembalikan permohonan pembatalan (sesuai Pasal 36 ayat (1) huruf b UU KUP) atas SKPKB PPh Pasal 23 yang diajukan PT ASD. PT ASD berargumen bahwa SKPKB tersebut batal demi hukum (nietig) karena diterbitkan tanpa prosedur pemeriksaan yang sah (melanggar Pasal 29 KUP). Oleh karena itu, PT ASD menuntut DJP menerbitkan keputusan substantif (menerima atau menolak pembatalan) dan menuduh tindakan pengembalian tersebut sebagai penyimpangan kewenangan (abuse of power).
DJP sama sekali tidak membahas keabsahan SKPKB PPh 23 tersebut. Argumen Tergugat murni prosedural. Tindakan pengembalian permohonan didasarkan pada dua pelanggaran formal fatal dalam PMK 8/PMK.03/2013. Pertama, pelanggaran Pasal 14 ayat (2) huruf c. DJP menemukan fakta bahwa PT ASD sebelumnya telah mengajukan (dan menerima keputusan) atas permohonan pengurangan sanksi administrasi (Pasal 36 ayat (1) huruf a UU KUP) untuk SKPKB yang sama. Sesuai regulasi, pilihan ini bersifat mutually exclusive dan "no double dipping", sehingga PT ASD tidak lagi memenuhi syarat mengajukan pembatalan pokok pajak. Kedua, pelanggaran Pasal 14 ayat (4) huruf e. Permohonan ditandatangani oleh kuasa, namun tidak melampirkan bukti "kompetensi tertentu" (seperti izin kuasa atau sertifikasi) yang diwajibkan oleh Pasal 32 ayat (3a) UU KUP.
Majelis Hakim, dalam pertimbangannya, melakukan pemisahan yang jelas. Pertama, Majelis menerima formalitas gugatan PT ASD. Majelis menolak eksepsi DJP dan menegaskan bahwa surat pengembalian permohonan (S-1080) adalah keputusan administratif (KTUN) yang sah menjadi objek gugatan (FORM-C2). Majelis juga mengesahkan surat gugatan PT ASD yang ditandatangani satu kuasa dan dilampiri surat kuasa asli.
Namun, pada pokok sengketa, Majelis Hakim menolak seluruh gugatan PT ASD dan mengesahkan tindakan DJP. Majelis setuju bahwa permohonan PT ASD di tingkat DJP cacat formal. Majelis menegaskan "prinsip no double dipping" dan menyatakan Pasal 14 ayat (2) letter c PMK 8/2013 berlaku, menolak argumen PT ASD yang membedakan SKP "tidak benar" (Pasal 13 ayat (1)) dengan "seharusnya tidak terbit" (Pasal 13 ayat (3)). Majelis juga mengesahkan alasan kedua DJP, menyatakan bahwa ketiadaan bukti kompetensi kuasa adalah cacat formal fatal sesuai amanat Pasal 32 ayat (3a) UU KUP. Karena permohonan terbukti cacat formal, tindakan DJP mengembalikannya sesuai Pasal 15 ayat (3) PMK 8/2013 adalah sah dan bukan penyimpangan kewenangan.
Putusan ini menjadi pelajaran penting bagi Wajib Pajak dan praktisi pajak. Pemilihan jalur upaya hukum (misalnya antara Pasal 36 ayat (1) huruf a dan b)) harus dilakukan dengan sangat cermat karena bersifat mutually exclusive. Selain itu, putusan ini menegaskan standar baru pasca-UU HPP dan PP 50/2022, di mana bukti kompetensi kuasa (sertifikasi, izin, ijazah) kini menjadi syarat formal absolut yang wajib dilampirkan dalam setiap korespondensi dan permohonan ke DJP.
Analisa Komprehensif dan Putusan Pengadilan Pajak atas Sengketa Ini Tersedia di sini